Kamis, 21 Maret 2013

Dialog islam tentang cinta rasulllulah


Di dalam Islam terdapat tiga katalog, yaitu: Pertama, Al-’Aqidatul Islamiyah, yaitu hubungan seorang hamba dengan Khaliknya atau biasa juga disebut sebagai At-Tawhid (hubungan pengesaan seorang hamba kepada Allah). Kedua, Asy-Syari’atul Islamiyah, yaitu undang-undang (aturan-aturan) di dalam Islam yang kita ketahui dengan lima hukumnya, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Ketiga, Al-Akhlaq Al-Islamiyah, yang terbagi menjadi dua bagian: zhahir dan bathin. Zhahir yang diwakilkan oleh tujuh bagian tubuh kita, sedangkan bathin adalah dengan hati kita.


Selama 13 tahun pertama Rasulullah menyebarkan Islam (di Mekkah) tidak ada satu pun ayat Alquran yang berbicara tentang syari’ah. 13 tahun Alquran hanya berbicara tentang “man huwallaah” (siapa itu Allah).
Menurut para mufassir, lebih dari 1.500 ayat-ayat Alquran yang turun di Mekkah (dinamakan ayat-ayat Makkiyah) semuanya itu tak lain adalah pelajaran-pelajaran tentang tauhid).
Mengapa Rasulullah waktu itu (waktu di Mekkah) tidak mengajarkan salat, puasa, zakat, dan tidak mengajarkan yang lainnya? Selama 13 tahun di Mekkah, Rasulullah hanya mengajar “kulla ilaaha illallaah”. 13 tahun para sahabat dididik seperti itu.
Rasulullah menanamkan akidah, sehingga para sahabat itu sebelum hijrah sudah terbekali. Sehingga dalam peperangan Badar, mereka itu semuanya ingin ke depan, hingga Rasulullah mengatakan, “Mengapa kalian semuanya ke depan?” Jawab mereka, “Ya Rasulullah, kami telah mencium harumnya surga.”
Di dalam peperangan Badar, banyak kejadian-kejadian yang ukhuwah Islamiyah itu dibangkitkan dengan al-imaanubillaah al-aqidah wat-tawhid. Mengapa Rasulullah 13 tahun menanamkan itu? Ketika itu belum ada syari’at, karena ayat-ayat mengenai syariat semuanya turun di Madinah.
Hal ini tak lain karena Allah tak ingin Nabi Muhammad gagal seperti Nabi Musa membawa Bani Israil. Ketika Nabi Musa membawa Bani Israil, kucuran nikmat diturunkan oleh Allah, tetapi belum ada tauhid, sehingga mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Belum lagi mereka itu kering dari Laut Merah yang di situ mereka melihat Fir’aun dan tentaranya tenggelam di laut, tetapi di saat itu juga Bani Israil mendustai Allah.
Allah mengingatkan Bani Israil:
Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk). (Q.S. Al-Baqarah: 40)
Berkaitan dengan ayat ini, bahwa ada 10 perjanjian Allah kepada Bani Israil seperti yang termaktub di dalam Alquran:
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (Q.S. Al-Baqarah: 83)
Inilah perjanjian Allah kepada Bani Israil. Oleh Nabi Muhammad, Bani Israil diajak kembali, tetapi mereka tidak mau. Nabi Musa gagal untuk membawa mereka. Pertama kali setelah mereka diberikan keselamatan, bukannya mereka bersyukur, malahan mereka mengatakan, “Ya Musa, kalau kita di Mesir pagi-pagi sudah makan enak. Tapi sekarang kau bawa kami sehingga kami selamat, tapi kini kami lapar.”
Allah pun kemudian menurunkan makanan dari langit berupa manna dan salwa. Setelah beberapa bulan, kembali mereka mengeluh, “Ya Musa, kami bosan makanan yang seperti ini. Tuhanmu kan hebat.”
Mereka juga mengatakan, “Ya Musa, kita kan ingin bercocok tanam”
Allah kemudian memberikan berbagai macam tanaman dan buah-buahan.
Kemudian mereka kembali mengeluh, “Ya Musa, ini kan di tengah padang pasir, mana airnya? Tuhanmu kan bisa mendatangkan air seperti halnya Dia membelah laut.”
Nabi Musa pun kemudian mengetuk satu kali, sehingga keluarlah air begitu derasnya. Ternyata mereka masih mengeluh, karena mereka terdiri dari 12 kabilah.
“Ya Musa, kita ini kan terdiri dari 12 kabilah, sehingga kita harus mengantri. Semestinya mata air yang keluar itu juga harus ada 12.”
Nabi Musa mengatakan, “Kalian ini tidak bersyukur kepada Allah.”
Mengapakah Bani Israil tidak bersyukur? Karena mereka tidak bertauhid kepada Allah. Allah kemudian memberikan 12 sumber mata air. Ternyata tidak cukup sampai di sini, karena mereka masih mengeluh dan meminta yang lebih baik lagi.
Begitulah Bani Israil, mereka terus melakukan pembangkangan-pembangkangan. Hingga kemudian mereka mengatakan kepada Nabi Musa, “Kami tidak akan beriman kepada Allah, kecuali kami melihat Allah.”
Karena itulah, Nabi Muhammad menanamkan tauhid lebih dahulu kepada umatnya ketika itu.
Apakah akidah? Akidah adalah: Innash-shalaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil ‘aalamiin. Hidup ini bukanlah milik kita, melainkan hanya hak guna pakai dari Allah. Kita nantinya pasti akan ditanya satu persatu: Man rabbuka (siapakah Tuhanmu)? Wa man Nabiyyuka (siapakah nabimu)? Setelah itu ditanyakan juga, wa man ikhwanuka (siapakah saudaramu)?
Di alam barzah (seperti yang disebutkan dalam hadis-hadis riwayat Bukhari, Muslim, Turmuzi, dan kutubut-tis’ah) tak ada satupun yang ditanyakan: Siapa ayahmu? Siapa anakmu? Takkan ditanyakan: Siapakah saudaramu yang laki-laki ataupun perempuan? Melainkan yang ditanya adalah “Man ikhwanuka?” (Siapakah saudaramu yang sebenarnya?). Kalau seandainya lisan ini mampu menjawabnya, maka akan dijawablah, “Ikhwani minal mu’minin (saudaraku adalah orang-orang beriman)”, maka selamatlah ia di alam barzah hingga ke akhirat.
Tapi ingatlah, bahwa lisan ini belum mampu menjawab seperti itu, karena kita masih mencintai diri kita sendiri lebih daripada mencintai saudara seiman kita.
Kecintaan dengan dunia dan takut mati, inilah yang paling ditakuti oleh Rasulullah untuk umatnya nanti. Umatku nanti bagaikan makanan yang dicabik-cabik di sana-sini. Para sahabat menanyakan, “Apakah umat Islam ketika itu sedikit?”
Rasulullah mengatakan, “Tidak, ketika itu umatku banyak. Tetapi banyaknya umatku ketika itu bagaikan buih yang tak ada artinya.”
“Mengapa bisa seperti itu, ya Rasulullah?” tanya para sahabat.
Jawab Rasululah, “Karena cinta dunia dan takut mati.”
Hidup ini hanyalah hak guna pakai. Hidup ini adalah belajar untuk tidak pernah merasa “ini milikku”, melainkan “ini milik Allah”. Hidup adalah perjuangan menuju mardhatillah (mencari ridha Allah). Tujuan hidup itu bukanlah untuk menjadi kaya, menang, dan sebagainya. Tujuan hidup adalah di mana saja dan kapan saja, kalau Allah meridhai, maka itulah tujuan hidup. Apapun yang kita miliki, tetapi kalau Allah murka kepada kita, maka itu adalah kehinaan hidup.
Ketika 13 tahun ditanamkan oleh Rasulullah, maka buah tauhid yang kita lihat adalah ketika kaum kaum Muhajirin datang ke Madinah, maka disambut oleh kaum Anshar. Kaum Anhar mengatakan, “Ya Rasulullah, kami mempunyai rumah dua. Yang tidak mempunyai rumah, ambillah rumah kami itu satu.”
Ada juga yang mengatakan, “Ya Rasulullah, kami mempunyai kebun. Sebagian kebunku untuk kaum Muhajirin.”
“Ya Rasulullah, siapa pun di antara kaum Muhajirin yang tidak beristri dan tidak bersuami, maka kawinkanlah dengan anak-anak kami.”
Karena itulah, di dalam Alquran disebutkan, bahwa harta dan anak-anak adalah ujian bagi manusia.
Apakah yang kemudian terjadi pada peperangan Badar berkaitan dengan ukhuwah Islamiyah?
Ketika itu, terdapat tujuh penderita luka berat karena darah banyak keluar. Lalu di antaranya ada yang meneriakkan, bahwa dirinya haus. Kemudian diberikanlah air kepada yang haus itu. Ketika yang haus itu akan minum, ternyata dilihatnya yang lain juga meneriakkan bahwa sedang kehausan. Kalau dia sendiri yang meminumnya, maka air itu akan habis. Dia mengatakan, “Tolong berikan kepada dia. Aku tidak apa-apa.” Padahal sebenarnya dia juga haus. Yang di sebelah pun ketika akan minum juga seperti itu, dilihatnya ada yang yang lain berteriak kehausan. Lalu yang akan minum tersebut pun meminta agar itu diberikan kepada yang berteriak kehausan itu. Seperti itulah seterusnya air yang akan diminum tersebut beredar kepada tujuh orang penderita luka itu, hingga tujuh-tujuhnya meninggal dunia tanpa meminum air setetes pun.
Bandingkanlah dengan kita kini, mungkin kita akan berkata, “Biarlah aku yang hidup. Yang lain mati pun tak apa-apa.”
Iman itu bukan sekedar salat, puasa, zakat, dan haji, tetapi juga mu’amalah. Hampir 30% lebih ayat di dalam Alquran berkenaan dengan mu’amalah ini (hubungan antara sesama manusia). Bagaimanakah seseorang yang memutuskan silaturahim?| Rasulullah mengatakan, bahwa orang yang memutuskan silaturahim, maka salat, puasa, zakat, dan hajinya, seluruhnya takkan diterima oleh Allah.
Ukhuwah Islamiyah inilah yang ditekankan oleh Rasulullah setelah beriman. Kalau beriman, maka seseorang takkan egois. Alquran mengatakan, bahwa orang mukmin dengan orang mukmin itu bersaudara, yaitu bagaikan dilahirkan dari satu perut yang sama.
Oleh karena itu, siapapun yang mengucapkan “Laa ilaaha illallah Muhammadarrasulullah”, bahkan Imam Nawawi mengatakan, kalau seseorang itu mengucapkan dua kalimah sayahadah dan kiblatnya masih di Ka’bah, janganlah engkau mengkafirkannya, karena itulah tanda-tanda orang yang beriman kepada Allah.
Suatu ketika Nabi Muhammad bersandar di Hijir Ismail, kemudian sahabat duduk di antara Rasulullah, kemudian Rasulullah pun bertanya, “Wahai sahabatku, hari ini hari apa?”
Jawab sahabat itu, “Ya Rasulullah, hari ini adalah hari yang mulia.”
“Bulan ini bulan apa?” kembali Rasulullah bertanya.
Dijawab oleh sahabat itu, “Bulan ini adalah bulan yang mulia.”
“Tempat ini tempat apa?”
“Ya Rasulullah, ini adalah Masjidil Haram dan Ka’bah yang diberkati.”
“Hari ini hari yang mulia. Bulan ini bulan yang mulia. Tempat ini tempat mulia. Sungguh, kemuliaan seorang muslim lebih mulia dari hari ini, lebih mulia dari bulan ini, dan lebih mulia dari tempat ini,” pertegas Rasulullah.
Oleh karena itulah, Rasulullah mengingatkan kita, barangsiapa yang menutup aib saudaranya yang mukmin, maka Allah akan tutup aibnya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang membuka aib saudaranya yang mukmin, maka Allah akan membuka aibnya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menyulitkan saudaranya yang muslim, maka Allah akan persulitkan hisabnya nanti di hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kehidupan seorang muslim, maka Allah akan mudahkan dia di dunia dan akhirat.
Ukhuwah Islamiyah itu tak mengenal batas-batas geografi. Di manapun ada yang menderita, maka itu adalah juga penderitaan kita. Di manapun terjadi penganiayaan, maka itu adalah tanggung jawab kita. Inilah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Beliau juga mengatakan, “Ketika seseorang hidup, ketika seseorang mengaku muslim yang hidupnya hanya untuk perutnya saja, hanya memikirkan untuk perutnya, sungguh harga dirinya sama dengan yang keluar dari perutnya.”
Dalam sebuah hadis, Rasulullah mengatakan, “Barangsiapa yang tidur dalam keadaan nyenyak dan perutnya kenyang, sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar dan dia mendengar tangisan anak tetangganya, kemudian dia tidak memberikan sisa makanannya, bahkan dia diamkan saja, dia acuhkan, dia tidur dalam keadaan kenyang, maka yang kenyang itu besok paginya ketika ia bangun berarti ia telah murtad dari agamaku.”
Orang yang tidak memperhatikan keadaan kaum muslimin, maka dia bukanlah dari golongan muslimin.
Iman itu buahnya adalah ukhuwah Islamiyah. Hidup ini bukanlah banyaknya baca Alquran, bukanlah banyaknya salat malam, tetapi hidup ini, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah adalah “sebaik-baiknya kalian adalah yang bermanfaat untuk orang banyak.”
Rasulullah mengatakan, bahwa orang yang mendapatkan kasih sayang dari Allah adalah orang-orang yang memberikan belas kasih terhadap orang-orang di muka bumi ini. Berikan sentuhan kasih sayangmu di muka bumi, niscaya Allah akan memberikan kasih sayang.
Rasulullah juga mengatakan, barangsiapa yang mencium anaknya, maka Allah akan memberikan satu pahala dan Allah hapuskan dosanya satu dan Allah naikkan derajatnya satu.
Rasulullah selalu mengajarkan kita, beliau mengatakan: “Kau melihat orang-orang yang ahli surga?”
“Siapakah itu, ya Rasulullah?” tanya sahabat.
“Yaitu yang memiliki akhlak tiga di dunia ini. Pertama, sambung silaturahim kepada orang yang memutuskan silaturahim. Kedua, maafkan orang yang pernah menyakiti hatimu. Ketiga, berilah kepada seseorang, namun jangan pernah berharap.”
Pertama, sambung silaturahim
Berkaitan dengan hal ini Rasulullah juga mengatakan, bahwa tidak halal bagi seorang laki-laki atau perempuan tidak menegur saudaranya selama tiga hari. Jika ada yang tidak berteguran dengan saudaranya selama tiga hari, maka salatnya tidak diterima oleh Allah. Di dalam Alquran disebutkan, bahwa Allah melaknat orang yang memutuskan silaturahim.
Kedua, maafkan orang yang pernah menyakiti hatimu
Mungkin setiap hari kita meminta maaf kepada Allah, tetapi ingat, biasanya kita tidak bisa memberikan maaf terhadap orang lain. Setiap hari kita ucapkan “Ar-Rahman dan Ar-Rahim”, yang paling tidak jumlahnya dalam 17 rakaat salat fardhu kita sehari semalam dikalikan dua, sehingga berjumlah 34.
Seringnya kita menyebutkan Ar-Rahman dan Ar-Rahim sehari semalam setiap hari sebanyak 34 kali, tetapi mengapa kita tak pernah bisa menjadi rahman dan rahim terhadap hamba Allah? Ini tentunya harus kita pertanyakan, sejauh mana ibadah yang kita lakukan telah kita aktualisasikan di dalam hidup kita.
Ketiga, berilah kepada seseorang, namun jangan pernah berharap
Apakah ikhlas sebenarnya?
Abu Nawas pernah ditanya, “Apakah maksud dari ikhlas, ya Abu Nawas?”
Abu Nawas mengatakan, “Gampang sekali. Apakah tadi pagi kau sudah buang air?”
“Sudah,” jawab orang itu.
“Pernahkah kau renungi setelah buang air itu?”
“Tak pernah.”
“Itulah ikhlas,” pertegas Abu Nawas.
Kalau kita berharap dari manusia, berarti kita tidak mengucapkan “laa ilaaha illallaah”. Apakah arti kalimat tauhid “laa ilaaha illallaah”? Artinya, lepaskan seluruh ketergantungan hidup terhadap makhluk. Di saat kita masih bergantung terhadap makhluk, maka sudah saatnya kita mengucapkan na’uzubillaahi min zalik.
Berilah seseorang, namun jangan pernah berharap, karena kita hanya berharap kepada Allah. Allah mengatakan, bahwa tidak ada sesuatu kebaikan, melainkan akan dibayar oleh Allah. Setiap kebaikan yang kita lakukan, tujuh turunan akan dibayar oleh Allah. Karena itulah, jangan pernah berharap kepada makhluk saat kita berbuat baik. Kalau kita berharap kepada manusia, maka akan sia-sia saja.
Rasulullah mengingatkan, jika kita ingin dikatakan sebagai seorang muslim, maka kita harus memperhatikan keadaan kaum muslimin, apalagi tetangga-tetangga kita. Betapa banyak doa kita. Dalam sebuah hadis, Ibnu Majah meriwayatkan, bahwa ada seorang alim ulama yang malam hari menangis membaca Taurat, dia berpuasa, dia berzikir. Allah mengatakan kepada malaikat, “Ya Malaikat, hancurkan kampung itu!”
Malaikat kemudian protes, “Ya Allah, di situ ada seorang hamba-Mu yang shaleh, yang setiap malam dia menangis di hadapan-Mu.”
Allah mengatakan, “Hancurkan dia dan rumahnya terlebih dahulu!”
“Mengapa, ya Allah?”
“Karena dia tidak bermanfaat untuk hamba-hamba-Ku yang lain.”
Di saat hidup ini tak bermanfaat, hanya egois untuk diri kita, maka Allah mengatakan, bahwa orang tersebut keluar dari golongan Islam.
Suatu ketika, Nabi Musa dipanggil oleh Allah ke Bukit Tursina. Nabi Musa ditanya oleh Allah, Suatu ketika, Nabi Musa dipanggil oleh Allah ke Bukit Tursina. Nabi Musa ditanya oleh Allah, “Apa yang kau lakukan selama hidupmu sebagai tanda syukurmu kepada-Ku?”
Nabi Musa pun menjawab, “Aku membaca Taurat, aku berhaji, aku salat untuk-Mu, aku menangis karena-Mu, aku berpuasa karena-Mu. Ya Allah, semua ibadah itu kulakukan untuk-Mu.”
“Ya Musa, salatmu, puasamu, zikirmu, itu bukan untuk-Ku, melainkan untuk dirimu sendiri.”
“Kalau begitu Ya Allah, tunjukkan kepadaku bagaimana tanda aku bersyukur kepadamu?” tanya Nabi Musa.
“Ya Musa, turunlah dari bukit Tursina ini, berikanlah pekerjaan kepada hamba-hamba-Ku yang tidak bekerja, berikan baju kepada hamba-hamba-Ku yang telanjang, sambungkan silaturahim kepada hamba-hamba-Ku yang memutus silaturahim, perhatikan para fakir miskin! Ketika engkau lakukan itu, maka itulah tanda syukurmu kepadaku.”
Mudah-mudahan Allah memberikan kita kekuatan untuk menyambung ukhuwah Islamiyah. Betul-betul dibersihkan hati kita, karena tujuan hidup ini hanyalah satu, yaitu mengharapkan ridha Allah. Ketika meninggal dunia, kita tak membawa apa-apa selain kain kafan. Innash-shalaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil ‘aalamiin. []
Disarikan dari Ceramah Ahad yang disampaikan oleh H. Oetsman Omar Shihab, Lc. pada tanggal 8 Februari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor: Hanafi Mohan

0 komentar:

Posting Komentar

(Putih)